Ibu Kota Baru, Green Building, Sustainable Landscape and National Security
Jumat, 15 September 2023 10:20 WIBMembangun Ibu Kota sama dengan membangun peradaban Negara. Hal ini menjadi sangat penting mengingat ibu kota adalah titik sentral bagaimana perjalanan sebuah negara.
Ibu Kota adalah jantung sebuah negara. Begitulah kira-kira kalimat yang ingin saya ungkap ketika mendengar “Ibu kota” dibahas dalam sebuah forum. Terlepas benar atau tidak, setidaknya pemahaman publik tentang ibu kota saya rasa juga tidak terlalu jauh berbeda. Ibu kota dipandang sebagai pusat peradaban, sebuah simbol penting, bahkan berfungsi sebagai representasi dinamika dan perkembangan sebuah negara. Jelas, melalui pandangan tersebut, eksistensi ibu kota menjadi sangat penting untuk terus mendapatkan perhatian dan perbaikan secara berkelanjutan.
Membangun Ibu Kota sama dengan membangun peradaban Negara. Hal ini menjadi sangat penting mengingat ibu kota adalah titik sentral bagaimana perjalanan sebuah negara berlangsung. Ibu Kota dipandang sebagai titik pusat dinamika kehidupan suatu negara. Baik dalam ranah pendidikan, ekonomi, sosial budaya, pariwisata, hukum, dan lain sebagainya.
Lebih jauh lagi, bagi saya yang hidup di desa dan cukup jauh dari pusat kota, gambaran tentang keadaan Ibu Kota hanya menjadi desas-desus yang mengiringi kesibukan sehari-hari. Ya, ibu kota seringkali disebut tempat yang padat lalu lintas, pusat perekonomian lintas bidang, markas besar parta-partai politik, kemewahan gedung bertingkat sesuai fungsinya masing-masing, dan tak kalah penting adalah pusat dari kehidupan para selebriti yang sering menemani rumah-rumah warga melalui siaran televisi.
Rupanya, narasi di atas tidak terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan keadaan asli di lapangan. Beragam kemewahan dan keindahan Ibu Kota pun juga memiliki dampak yang negatif terhadap masyarakat sekitar. Seperti kepadatan lalu lintas yang harus mengakibatkan polusi udara berlebihan. Bangunan pencakar langit yang harus dibangun dan merelakan lahan hijau menghilang. Serta kuantitas penduduk yang semakin membludak dari waktu ke waktu. Disadari atau tidak, semua konsekuensi itu harus ditanggung bersama – pemerintah dan warga negara sebagai bagian dari DKI Jakarta.
Selain itu, ibu kota sebagai pusat dan representasi dari sebuah negara juga berpotensi besar dijadikan ladang kejahatan dengan beragam bentuk. Entah itu pengedaran narkoba, maraknya Pekerja Seks Komersial (PSK) di tempat-tempat gelap, pencurian, perampokan, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Ya, semua itu sempat saya tonton melalui layar televisi setelah pulang sekolah. Waktu itu, aku menangkap bahwa DKI jakarta sebagai ibukota negara adalah tempat yang keras, kejam, dan penuh tantangan. Tidak sembarang orang yang bisa bertahan di sana dalam waktu yang panjang. Bahkan sampai saat ini, rasa-rasanya asumsi itu tetap tidak berubah.
Beralih pada kajian sejarah, rupanya DKI Jakarta bukanlah yang pertama kali menjadi ibu kota di negara ini. Jakarta telah ditetapkan sebagai Ibu Kota negara melalui UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1964 Tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibu Kota Negera Republik Indonesia. Kemudian Indonesia memindahkan Ibu Kota ke Yogyakarta dari Januari 1946 sampai Desember 1949 karena perang kemerdekaan. Dari Bukittinggi di Sumatera Barat juga sempat menjadi ibu kota saat Presiden Soekarno membentuk pemerintah darurat sebelum ia ditangkap oleh Belanda antara Desember 1948 dan Juni 1949. Lalu Bireuen di Provinsi Aceh juga pernah menjadi Ibu Kota Negara walau hanya seminggu lamanya, dan setelah itu ibu kota kembali ke Jakarta menanti kemerdekaan. (Wesley Liano Hutasoit 109).
Tidaknya hanya di Indonesia, rupanya pemindahan ibu kota sudah banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Sebut saja Kuala Lumpur ke Putrajaya di Malaysia, Bonn ke Berlin di Jerman, Melbourne ke Canberra di Australia, Valladolid ke Madrid di Spanyol, atau Kyoto ke Tokyo di Jepang. Keberhasilan relokasi ibu kota dapat terjadi di negara maju maupun berkembang. Dubai dikenal di seluruh dunia sebagai kota bisnis utama tetapi Abu Dhabi adalah ibu kota Uni Emirat Arab. Di India, Mumbai adalah ibu kota bisnis, sementara New Delhi sebagai pusat pemerintahan.
Pemindahan Ibukota NKRI yang diiringi oleh pengembangan kota baru sebagai fungsi ibukota merupakan peluang membangun salah satu model Kota Lestari. Membangun Kota Lestari tentunya tidak dapat diserahkan semata kepada sektor swasta yang berorientasi keuntungan. Kota Lestari mengandung misi-misi permukiman berkelanjutan yang hanya dapat dijalankan dengan kepemimpinan sektor publik yang kuat dan didukung sektor swasta dan masyarakat secara sinergis.
Dari kajian sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan ibu kota negara bukanlah fenomena yang baru pertama kali terjadi. Setiap perubahan ibukota lintas waktu pun memiliki alasan dan pertimbangannya masing-masing yang berintikan kemaslahatan umat. Hingga sampai pada titik ini, DKI Jakarta menjadi ibukota negara dan mulai dipandang perlu untuk dipindah ke Kalimantan Timur dengan beragam pertimbangan. Pastinya, menghindari sisi negatif secara sempurna dari stiap keputsan rasa-rasanya akan sangat sulit bahkan mustahil. Selalu ada saja sisi negatif yang lahir dari sudut pandang yang berbeda atau keadaan baru yang muncul ke permukaan. Sehingga, pengawasan dan perbaikan menjadi dua pekerjaan pemerintah yang harus terus berlanjut.
Secara lebih spesifik, yang tak kalah penting ketika mendengar kata DKI Jakarta atau ibukota, begitu pula di banyak tayangan yang muncul di televisi, maka masalah yang sering melanda ialah perihal banjir. Jakarta seolah-olah menjadi tempat berlangganan bencana banjir dari tahun ke tahun. Hal ini tak berlebihan jika dihubungkan dengan area penyerapan air yang dipandang sangat minim akibat pengaspalan yang begitu massif. Baik untuk kepentingan pariwisata, perekonomian, gaya hidup, atau pun yang lain. Sejarah banjir tersebut semakin dikenal ramai dengan lahirnya buku “Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa” karya Restu Gunawan yang berisi sejarah banjir besar di Jakarta mulai 1918.
Selain itu, Jakarta mengalami pencemaran lingkungan seperti limbah-limbah dan sampah yang sangat amat besar, seluruh dunia sudah mengetahui bahwa DKI Jakarta terkenal dengan kemacetannya yang selalu menghiasi di sepanjang jalan raya, kondisi penduduk padat, banyak gedung bertingkat yang sifatnya standar, serta sedikitnya cadangan air bersih. Dan, permasalahan lingkungan di Jakarta saat ini sering terjadi yaitu seperti masalah banjir. Ya, semua masalah lingkungan yang dialami DKI Jakarta seolah-olah mengalahkan eksistensinya sebagai ibu kota yang seharusnya asri, mewah, aman, dan nyaman.
Dari beragam permasalahan yang mengganggu stabilitas Ibukota, saya rasa pekerjaan pemerintah dalam perbaikan lingkungan hidup mengandung dua poin besar. Pertama ialah menciptakan kawasan Ibukota yang ramah lingkungan hidup yang berarti tidak merusak tatanan alam sekitar, menggunakan fasilitas alam secara wajar, tidak merusak hutan, sungai, atau apapun yang bernuansa alam tetap seimbang dengan fasilitas buatan. Tentunya melalui perhitungan dan pertimbangan tertentu berdasarkan bidang keilmuan yang mengatur bagaimana baiknya tata letak kota. Kedua, pemerintah juga harus menciptakan kawasan ibukota yang ramah lingkungan hidup dari segi sikap atau perilaku masyarakat secara menyeluruh. Dalam hal ini pemerintah mengantisipasi potensi terjadinya beragam kejahatan yang sering terjadi di kawasan ibukota sebagai representasi dari sebuah negara.
Hal di atas selaras dengan apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sehingga, roda kehidupan ibukota tidak hanya “baik” dari segi fasilitas buatan yang serba mewah dan alam yang dirawat sebaik mungkin, namun juga merawat perilaku manusia di dalamnya juga penting untuk terus digalakkan.
Membahas tentang kawasan ibukota yang ramah lingkungan hidup, saya sangat setuju dengan konsep bangunan hijau yang memperhatikan bagaimana keadaan alam sekitar dan berhasil memberdayakan alam secara tepat guna. Menurut Green Building Council Indonesia, bangunan hijau adalah bangunan dimana di dalam perencanaan, pembangunan, pengoperasian serta dalam pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi pengunaan sumber daya alam, menjaga mutu baik bangunan maupun mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Sehingga, pembangunan tidak hanya diukur dari segi kemewahan dan keindahan fisik yang tampak dari luar dan kejauhan, namun juga memperkirakan dampak yang akan dihasilkan terhadap alam ke depannya. Konsep ini pula yang menurut hemat saya juga akan berpengaruh penting dalam menanggulangi terjadinya banjir. Adapun kriteria yang ditinjau dalam bangunan hijau meliputi tepat guna lahan, efisiensi energi dan konservasi energy, konservasi air, sumber siklus material, kualitas udara dan kenyamanan, serta manajemen lingkungan bangunan.
Salah dua ilmuan bernama Gottfried dan Lenssen juga menjelaskan bagaimana dari dampak pembangunan. Jelas, pembangunan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, seperti seperenam konsumsi air, seperempat konsumsi kayu dan duaperlima konsumsi material dan energi dihabiskan dalam proses pembangunan. Sektor bangunan memiliki dampak besar tidak hanya pada kehidupan ekonomi dan sosial, tetapi juga pada lingkungan alam dan dibangun. Berbagai kegiatan pembangunan, seperti desain, konstruksi, penggunaan, perbaikan dan pembongkaran bangunan, secara langsung dan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja lingkungan sektor ini.
Menurut penelitian yang lain, perkembangan bangunan hijau menunjukkan bahwa bangunan mengkonsumsi 40% bahan bangunan di dunia, menggunakan 55% kayu untuk penggunaan di luar bahan bakar sebanyak 12,2% dari total konsumsi air, 40% dari total penggunaan listrik, menghasilkan 36% dari emisi gas karbon dioksida (Hoffman & Henn, 2008). Karena pengaruh yang besar pada lingkungan, lahirlah gerakan bangunan hijau yang pada intinya adalah peningkatan efisiensi pada proyek konstruksi dalam menggunakan sumber daya dan meminimalkan dampak negatif yang dihasilkan dari proyek itu terhadap lingkungan (Retzlaff, 2008). Semua pertimbangan dan gerakan itu tiada lain untuk menjaga keseimbangan antara alam buatan manusia dengan alam ciptaan Tuhan.
Sekilas menurut hemat saya, beragam permasalahan di DKI Jakarta bisa diatasi secara internal tanpa harus memindah tempat Ibu Kota ke Provinsi yang lain. kecuali jika pemindahan tersebut dijadikan ajang “proyek” mencari uang bagi kalangan pengurus yang lebih tahu secara detail bagaimana dinamika uang di dalamnya. Ya, bukankah sudah terlalu banyak laporan kegiatan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan? Baik dalam tataran dunia akademik bahkan masalah kenegaraan sekalipun. Semoga saja asumsi ini tidak benar adanya.
Prasangka saya selaras dengan apa yang disampaikan oleh pakar demografi sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi. Ia mengatakan bahwa posisi ibu kota negara di Jakarta tidak perlu dipindah meskipun tingkat kepadatannya semakin tinggi. Alasan dia, pemindahan ibu kota ke luar Jakarta berarti sama saja dengan memobilisasikan tiga juta orang ke daerah lain sehingga akan menghabiskan biaya sangat besar. Jumlah pegawai semua kementerian dan lembaga pemerintah pusat mencapai angka jutaan, belum ditambah dengan anggota keluarga. salah satu solusi untuk menyiasati kepadatan Jakarta, tanpa harus memindahkan ibu kota, ialah dengan menyebar kantor kementerian ke semua provinsi. Maka, sumber daya manusia di setiap kementerian, sekaligus anggaran kelembagaannya, akan terdistribusi ke banyak daerah dan kementerian akan langsung bersentuhan dengan masyarakat di banyak provinsi, disampaikan pada acara seminar “Apakah Ibukota Jakarta Perlu Dipindah?” di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM pada Kamis, 20 Agustus 2015.
Tidak hanya itu, Pakar perencanaan kawasan urban, Yeremias T. Keban juga berpendapat bahwa sebenarnya persoalan kompleks yang membelit Jakarta bisa diselesaikan tanpa harus memindah lokasi ibu kota. Solusinya, hanya perlu dengan memperbaiki infrastruktur penyebab persoalan semacam banjir, kemacetan, kepadatan bangunan atau penduduk, dan banyak masalah lain.
Perlu diketahui, bahwa wacana pemindahan ibu kota juga muncul melalui kajian dari Bappenas RI, pada tanggal 16 Agustus 2019 dalam pidato kenegaraan yang di sampaikan oleh presiden Joko Widodo. Presiden secara resmi meminta izin kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memindahkan ibu kota Republik Indonesia (RI) yang baru yaitu yang berlokasi di provinsi Kalimantan Timur tepatnya di antara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
Sampai saat ini, keseriusan pemerintah dalam rangka memindah ibukota ke Kalimantan Timur rupanya sudah hampir sempurna. Hal ini dibuktikan dengan pelantikan yang dilakukan Jokowi terhadap Bambang Susantono sebagai kepala Otorita IKN dan Dhony Rahajoe sebagai wakil kepala Otorita IKN Nusantara periode 2022-2027 di Istana Negara Jakarta. Keduanya dipilih oleh bapak Jokowi karena keduanya di nilai mampu serta diharapkan bisa memimpin proyek besar itu dengan sebaik mungkin di kedepannya. Ibu kota baru tersebut di beri nama Nusantara. Proyek ini didasarkan pada Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN.
Dikutip dari website resmi Ibu Kota Negara Indonesia, Bambang Susanto sebagai Kepala Otorita Ibu kota Nusantara menyampaikan “Membangun Kota tidak hanya membangun fisiknya, tapi terutama adalah bagaimana kerekatan sosialnya, interaksi antar warganya, bagaimana kota tersebut menjadi kota yang layak huni, humanis, dan liveable. Kami memohon kepada semua lapisan masyarakat sehingga ibu kota nusantara menjadi kota yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan, dibangun untuk semua kalangan, a city for all. Hal itu disampaikan dalam pernyataan pers pelantikan Kepala dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara di Istana Negara pada 10 Maret 2022.
Melihat statemen di atas, pastinya semua itu juga sudah mafhum dan menjadi harapan bersama seluruh warga negara, termasuk saya. Tiga kata yang terdiri dari inkusif, hijau, dan berkelanjutan adalah pekerjaan besar yang hasilnya diidam-idamkan oleh semua orang. Tanpa perlu dipertanyakan atau diperdebatkan lagi. Hanya saja, setelah statement itu diucapkan, kita sebagai warga negara seyogyanya mau dan mampu tampil untuk mengontrol secara berkala apakah pemerintah memang benar-benar mengusahakan konsep tersebut. Jangan sampai begitu ibukota terbangun, tujuan utama konsep ibukota baru malah perlahan mengendor dan menghilang seiring kepentingan kalangan.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tahun 1992 merumuskan konsep pembangunan berkelanjutan yang mencakup tiga pilar yang saling terkait dan saling menunjang satu sama lain. Adapun konsep yang dibangun meliputi pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup masyarakat melalui tata kelola pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup dari generasi ke generasi berikutnya (Wulfram I. Ervianto 179).
Tiga konsep di atas tentu tidak mudah dicapai dalam waktu yang singkat. Pertama masalah ekonomi masyarakat. Hal ini berhubungan erat dengan bagaimana ketersediaan lapangan pekerjaan yang mumpuni dan mencukupi. Kedua adalah mengenai keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat yang mengharapkan suasana bebas kekerasan, kejahatan, dan sejenisnya. Hal ini berhubungan erat dengan sistem keamanan suatu negara. Sementara yang ketiga adalah kualitas lingkungan hidupa yang mengarah pada lestarinya fasilitas alam yang diberikan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaik dan semaksimal mungkin. Tanpa merusak dan menghabiskan isi bumi.
Menilik lebih jauh, definisi permukiman menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1992, tentang Perumahan dan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Hal ini saya rasa juga berlaku bagi kawasan ibu kota sebagai representasi dari sebuah negara.
Lebih jauh lagi, presiden Joko Widodo mengungkapkan sejumlah alasan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dalam sambutannya pada Peresmian Pembukaan Muktamar ke-XVIII Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, yang digelar di Balikpapan Sport and Convention Center, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, pada Rabu, 22 Februari 2023. Semua alasan yang diungkapkan tiada lain untuk kemajuan negara dan kemaslahatan bersama ke depan.
Adapun beberapa alasan yang dimaksud dalam pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur yaitu dimulai dari permasalahan beban kota Bandung, kinerja pemberian pelayanan pemerintah serta pemulihan kota. Alasan lainnya untuk mengurangi ketimpangan, mengembangkan pemerataan dan mengembangkan pusat ekonomi baru, daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa terus menurun. Kemudian beban DKI Jakarta dianggap sudah melampaui batas untuk dijadikan pusat ibu kota.
Ditambah lagi wilayah Jakarta sistem pengaliran dan sanitasi air dipandang buruk, pasokan listrik juga energi yang tidak seimbang, persiapan tata guna lahan yang semakin tak patut lagi di masa yang akan datang. Lapangan pekerjan dan kesenjangan sosial di wilayah Jakarta juga sudah mendesak. Pejabat khusus Sekretaris Negara Paolo Maldini mengatakan, pemerintah melihat pemindahan ibu kota sebagai usaha pemerataan pembangunan supaya tak terfokuskan di Jawa. Menurutnya, sudah sejalan dengan visi presiden Jokowi yang dengan sendirinya Indonesia centris dan tidak lagi Jawa centris. Sedangkan terpilihnya wilayah Kalimantan Timur sebagai pusat ibu kota baru salah satunya dikarenakan rendahnya resiko bencana alam seperti banjir, gempa, gunung meletus, serta tsunami. Lokasi Kalimantan Timur juga berada di tengah-tengah Indonesia serta berada di dekat perkotaan yang berkembang seperti Balikpapan dan Samarinda.
Pemindahan ibu kota jelas menghabiskan uang yang luar biasa banyak. Meski jika dihitung dengan dampak tidak dipindahkannya ibu kota, katanya lebih murah dilaksanakannya pemindahan ibu kota. Diprediksi bahwa pengeluaran mencapai 100 triliun untuk waktu sepuluh tahun, atau kurang dari 1% nilai APBN, jelas jauh lebih rendah dibandingkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta yang sekarang mencapai di atas Rp 20 triliun per tahun, dan degradasi lingkungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kerugian akibat kemacetan tersebut digabungkan lagi dengan kerugian akibat banjir, kemerosotan daya dukung lingkungan, kemerosotan kualitas hubungan sosial, dan sebagainya dengan nilai yang terus meningkat dari tahun ke tahun, investasi memindahkan ibu kota menjadi jauh lebih besar lagi manfaatnya.
Jelas, proses menghitung di atas masih sekadar rencana yang entah seiring berjalannya waktu apakah sesuai atau tidak. Mengingat sebagai warga negara, termasuk saya, melakukan proses kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh petugas pemerintah rasa-rasanya sangat tidak mungkin. Pun jika ada forum transparansi atas apa yang sudah diusahakan pemerintah, tidak dapat dipastikan kejujuran dan keakuratan apa yang dilaporkan atas kenyataan di lapangan. Di sisi ini, lagi-lagi tidak ada jalan lain selain berprasangka baik atas niat mulia pemerintah untuk mewujudkan ibu kota yang lebih baik ke dapannya.
Jangan sampai alasan utama dipindahkannya Ibu Kota malah dirusak seiring berjalannya waktu dengan alasan kepentingan-kepentingan tertentu yang muncul seketika oleh sebagian kalangan. Landasan pemindahan Ibu kota nantinya harus tetap dirawat sebaik mungkin melalui kebijakan dan keberanian untuk tidak melampaui batas-batas kemanusiaan dalam bernegara. Sebab, akan menjadi sangat konyol ketika kepentingan memindah Ibu kota dikikis dengan kepentingan susulan lainnya yang bisa jadi tidak masuk akal. Terlepas apapun bentuknya. Serta yang tak kalah penting untuk tetap dikawal ialah perihal keamanan ibu kota nantinya.
Dikutip dari artikel Muhadam Labolo dalam website Institut Pemerintahan Dalam Negeri, menurut perspektif nasional security, keamanan dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial (PKS) berada di tangan para pemimpin politik pilihan rakyat dari pusat hingga daerah. Di masa kini, keamanan nasional bukan semata-mata tanggungjawab militer, namun juga tanggungjawab pemerintah lokal dan masyarakat luas dalam konteks ancaman nirmiliter
Adanya regulasi di atas semakin memperjelas terhadap seluruh kalangan masyarakat, baik pejabat atau pun non pejabat untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan bersama lintas keadaan. Sehingga, tidak hanya bangunan fisik yang mewah dan indah, namun juga lingkungan hidup yang damai, tentram dan aman. Tinggal bagaimana perilaku seluruh warga yang harus diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan kesuksesan regulasi yang telah disebut.
Berdasarkan penjelasan hukum, data, dan fakta yang telah diungkap di atas, harapan saya terhadap ibu kota yang baru nantinya tertuju pada dua hal besar. Pertama ialah terciptanya pembangunan kawasan ibu kota yang hijau. Hijau dalam hal ini ialah tidak mencemari lingkungan alam, memberdayakan fasilitas alam yang diberikan Tuhan secara normal dan sebijak mungkin, serta merawat seluruh ekosistem di seluruh kawasan ibu kota dengan landasan pengetahuan dan tindakan yang jujur.
Kemudian, harapan kedua saya adalah tercipta dan terjaminnya keamanan kawasan ibu kota secara ketat dan berani oleh para petugas berwenang dan seluruh warga negara. Mengingat kesadaran akan penegakan regulasi tidak hanya datang dari pemangku kebijakan saja, tapi juga membutuhkan komitmen bersama seluruh warga yang ada di kawasan ibu kota. Meski penegakan hukum tetap mutlak diteladankan oleh pemerintah terlebih dahulu.
Dua hal di atas jika berhasil diwujudkan oleh pemerintah melalui beragam tindakan dan kebijakan, terlepas dari ibukota tetap di DKI Jakarta atau pindah ke Kalimantan Timur, maka dapat dipastikan rakyat sekitar akan benar-benar merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Baik aktivitas yang berhubungan aspek pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya.
Sehingga, nantinya tidak ada lagi ketakutan saat ibu kota muncul di layar televisi. Bukan banjir yang diberitakan, tapi efek positif dari pembangunan kawasan atas konsep yang baru. Bukan berita kriminal yang menghiasi pagi hari seluruh warga, tapi berita prestasi atas penghargaan yang diperoleh pemerintah atas konsep yang berhasil diwujudkan. Serta tidak ada lagi ketakutan atas asumsi “kerasnya” kawasan ibukota dengan beragam peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Bahkan, dengan bekal pengetahuan, seangat, dan kejujuran dari pemerintah dan seluruh warga, saya membayangkan ibu kota masa depan akan menjadi surga dari Indonesia pada nantinya. Surga yang berisikan seluruh kegiatan lintas ranah secara seimbang, aman, dan nyaman. Tidak ada lagi bencana seperti banjir, tidak ada lagi kegiatan kriminal dan sejenisnya, dan tidak ada lagi huru-hara lainnya yang memancing perselesihan atau perpecahan nantinya.
Jika sudah demikian, maka makna “Merdeka” semakin nyata dirasakan nikmatnya oleh seluruh warga, khususnya kawasan ibu kota. Merdeka tidak hanya sekadar slogan yang lahir secara spontan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Namun, merdeka benar-benar dirasakan melalui pengaturan konsep yang utuh, tindakan yang jujur dan berkualitas, serta semangat untuk terus berbenah seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman.
Melalui tulisan ini, tentu besar harapan saya dan seluruh warga agar ibu kota ke depan, terlepas dipindah atau tidak, tampil dengan ruh dan wujud yang baru. Ruh dan wujud yang benar-benar siap dibanggakan dan dipamerkan terhadap dunia dari berbagai sisi. Mulai dari kondisi fisik yang asri, fasilitas serba mewah dan indah, serta potensi-potensi yang berjalan maksimal lintas bidang.
Terakhir, sebagai salah satu mahasiswa di perguruan tinggi negeri yang jauh dari ibu kota, dengan bekal pengetahuan dari bangku kuliah, dan dedikasi yang tak main-main, saya siap menjadi bagian dari suksesnya harapan ibu kota yang lebih baik untuk seluruh warga negara. Baik melalui analisis kajian literatur demi menghasilkan konsep baru, penulisan karya ilmiah lanjutan sebagai bahan dokumentasi dan publikasi pada dunia, ataupun membantu pemerintah dalam bentuk yang lain-lain. Sehinga, tidak ada alasan lagi untuk tidak bangga menjadi warga negara Indonesia. Pastinya, semua rencana dan usaha yang dilakukan lintas kalangan tetap bermodalkan dan mengharapkan ridho dari Tuhan semesta alam.
#CintaIndonesia
DAFTAR REFERENSI
Dyah Masitah, Anggun & Dewi Dian Suluh. 2022. Analisis Opini Publik Berdasarkan Teori Agenda Setting Pada Proses Perencanaan Pemindahan IKN. Jurnal Imu Sosial dan Pendidikan Vol. 6, No. 3. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah.
Ervianto Wulfram I. & Felasari Sushardjanti. 2019. Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan di Perkotaan. Bandung: Universitas Udayana.
Labolo Muhadam. 2022. Tanggungjawab Keamanan Negara.Jakarta: Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Liano Hutasoit, Wesley. 2018. Analisa pemindahan Ibukota Negara. Dedikasi Vol, 19. N0. 2. Samarinda: Universitas 17 Agustus 1945.
S Wiyono, Edwin dkk. Pengaruh Parameter Bangunan Hijau GBCI Terhadap Fase Proyek. Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Ibu Kota Baru, Green Building, Sustainable Landscape and National Security
Jumat, 15 September 2023 10:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler